IHSG Jeblok, Investor Harus Apa?

LIPUTAN6.com, Jakarta – Komposit Aktiekurektideek (CSPI) masih memiliki tekanan pada minggu kedua bulan Februari. Indeks Saham Saham Komposit (CSPI) ditutup sedikit 0,38 persen pada 14 Februari 2025, tetapi masih 1,54 persen dari penutupan pada 6.742 minggu lalu.

Pengamat pasar modal dan pendiri Stocknow, kata Hendra Wardana mengatakan bahwa emosi negatif berasal dari arah yang berbeda, baik dari faktor global dan domestik, yang berarti bahwa investor lebih waspada dalam langkah -langkah investasi. Data inflasi Amerika Serikat lebih tinggi dari sisi global daripada harapan menjadi pemicu terbesar untuk tekanan pasar saham.

Inflasi tahunan tahunan AS AS mencapai 3%, sementara inflasi inti naik 0,4% setiap bulan. Akibatnya, pasar mengurangi harapan suku bunga Fed, yang awalnya hanya sekali tahun ini.

“Dengan tingkat bunga dana Fed, yang diperkirakan akan bertahan lebih dari 4%, investor asing cenderung menarik dana dari saham pengembangan, termasuk Indonesia, untuk ditransfer ke aset yang lebih aman sebagai obligasi AS,” kata Hendra Lipertan6.com, dikutip pada hari Sabtu (14.02.2025). Dipicu oleh penjualan tekanan

Selama negara itu, sejumlah faktor membantu membebani JCI. Topi besar, terutama di sektor perbankan, seperti BBCA, BBRI, BMRI dan BBNI, mencatat tekanan penjualan yang cukup besar. Bank Indonesia (BI), yang darinya masih diharapkan untuk mempertahankan suku bunga 5,75%, juga merupakan masalah, karena suku bunga tinggi dapat membatasi pertumbuhan sektor real estat dan konsumsi.

“Di sisi lain, kursus mata uang rupiah, yang cenderung tumbuh terhadap dolar AS, memperburuk atmosfer lain di pasar,” kata Hendra.

 

Informasi Investasi Senior Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Adityo Nugroho melihat gerakan JCI berdasarkan keuangan, penawaran, dan permintaan fundamental. Menurutnya, harga meningkat jika permintaan (permintaan) lebih tinggi dari penawaran (penawaran). Hal yang sama berlaku untuk JCI.

“Jika kita melihat kembali pergerakan pada semester pertama 2024, ada waktu yang cukup lama dari drainase asing, yang berarti bahwa JCI tidak memberikan cukup pembeli yang dapat menahan tekanan penjualan investor asing. Jika banyak yang menjual, daya beli, masuk, tidak cukup kuat untuk mengimbangi, dan indeks jatuh,” menjelaskan daya belanja. “

Adityo baru -baru ini secara besar -besaran memeriksa tindakan penjualan penjualan asing. Dari saham BNI kemudian melanjutkan ke saham bank lain seperti Bank Mandiri dan BCA. Menurut Adityo, sektor perbankan dapat dibandingkan dengan barometer pasar.

“Seperti kenari di tambang, yang merupakan indikator keberadaan gas beracun, gerakan perbankan dapat mencerminkan keadaan pasar yang lebih luas. Jika saham perbankan jatuh dengan kuat, ada kemungkinan bahwa ada sesuatu yang salah dengan kondisi ekonomi makro,” kata Adityo.

 

Menurut Adityo, ada dua faktor utama yang menyebabkan investor global menarik dana mereka dari Indonesia. Ketidakpastian global pertama. Dalam kondisi lengkap, investor cenderung mencari barang keamanan (pelabuhan aman) seperti USD dan emas. “Ini berasal dari pergerakan harga emas yang telah meningkat belakangan ini,” kata Adityo.

Kedua, suasana hati negatif terhadap Indonesia. Beberapa laporan dari sektor perbankan kurang meyakinkan akhir -akhir ini dan membuat investor asing lebih berhati -hati sehubungan dengan penempatan dana di Indonesia.

“Dalam situasi seperti itu, investor cenderung memindahkan investasi sampai risiko ditugaskan lebih jelas. Jika risikonya mulai menurun, mereka hanya akan berjuang untuk mendapatkan hasil potensial. Maka kemungkinan JCI diciptakan karena harga saham yang jatuh bisa menjadi daya tarik khusus,” kata Adityo.

Melalui berpikir tentang Pandemi Covid-19 pada bulan September hingga Oktober 2019, sebelum Pandemi pecah, investor asing sudah mulai keluar dari pasar Indonesia. Namun, pada waktu itu, JCI masih stabil karena investor domestik mampu menahan tekanan penjualan. Ketika Pandemi benar -benar bertemu, investor asing menjual saham mereka semakin besar, tetapi setelah itu JCI mulai pulih, meskipun investor asing terus mengalir.

Perbedaan saat ini banyak investor ritel baru memasuki pasar, yang disebabkan oleh tren investasi di media sosial. “Sekarang kita tidak melihat peningkatan jumlah investor ritel daripada di bawah Pandemi. Selain itu, suasana pasar sekarang lebih negatif, karena banyak pesan menggarisbawahi kondisi ekonomi global yang masih penuh dengan ketidakpastian,” kata Adityo.

 

Secara teknis, Hendra mengatakan bahwa JCI saat ini berada dalam fase beruang dengan rentang pergerakan samping di kisaran 6.500 – 6.700. Tingkat dukungan terdekat adalah 6.562, sedangkan resistensi 6.676 kuat.

“Jika IHSG dapat bertahan hidup melalui dukungan, ada kemungkinan untuk pulih. Namun, jika tekanan penjualan berlanjut, JCI bukan tidak mungkin bagi JCI untuk pergi ke tingkat psikologis 6.500,” katanya.

Beberapa gudang menarik yang akan diperiksa dalam kondisi saat ini adalah SCMA dengan ukuran 250, yang memiliki prospek pertumbuhan yang menarik dari perusahaan periklanan digital dan konten streaming. Karena diversifikasi bisnisnya yang kuat, EMTK dengan target 670 juga merupakan pilihan, dari media hingga perawatan kesehatan.

Di sektor pertambangan, dengan target 1.655, ANM adalah pilihan yang menarik bersama dengan tren kenaikan harga emas global, sementara BRM dengan target 400 memiliki potensi untuk menggunakan perluasan proyek penambangan emasnya.

“Di masa depan, arah gerakan JCI akan sangat tergantung pada pengembangan data ekonomi global dan kebijakan moneter dari Fed dan Bank Indonesia,” kata Hendra.

 

Publikasi FOMC Minutes di minggu depan akan menjadi momen penting yang dapat menentukan suasana pasar berikutnya. Jika Fed masih menunjukkan sikap Hawkish, tekanan pada pasar saham dapat dilanjutkan. Namun, jika ada sinyal yang buruk atau setidaknya netral, pasar memiliki kesempatan untuk menjadi stabil dan naik.

Kondisi saat ini dapat menjadi tantangan dan peluang bagi investor. Menurut Hendra, koreksi yang benar dapat digunakan dengan strategi yang tepat dan pemilihan saham yang cermat untuk mengumpulkan saham berkualitas dengan penilaian yang menarik.

“Jika Anda melihat elemen dasar, investor asing tidak harus kembali ke pasar Indonesia. Kondisinya masih solid sehubungan dengan ekonomi makro, meskipun beberapa cegukan datang,” kata Adityo.

Di masa lalu, IHSG memiliki tren yang meningkat dalam catatannya, meskipun dapat diperbaiki dalam waktu singkat karena faktor eksternal. Saat ini, investor harus lebih selektif untuk memilih saham, dengan sektor yang memiliki resistensi yang lebih baik terhadap volatilitas global.

 

Sektor, yang biasanya merupakan pilihan dalam situasi seperti itu, adalah barang konsumen, bank dan telekomunikasi. Namun, sektor perbankan dan telekomunikasi telah mengalami tekanan yang cukup besar. Di sisi lain, sektor barang konsumen masih memiliki ruang untuk pertumbuhan.

“Beberapa saham yang dapat menjadi pilihan termasuk ICBP dan Myor, yang memiliki elemen dasar yang kuat dan pergerakan harga yang relatif stabil,” kata Adityo.

Faktor lain yang dapat mempengaruhi JCI di masa depan adalah potensi untuk mengembalikan dana dari luar negeri yang dapat memberikan likuiditas tambahan pasar domestik. Namun, ia masih harus mengakui bagaimana dinamika global berkembang, termasuk pedoman Bank Sentral AS (FED) dan keadaan ekonomi domestik.

 

CATEGORIES:

Bisnis

Comments are closed

Latest Comments

No comments to show.
PAY4D gbk99